ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA


PEMBUKAAN


Kata Pengantar


            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Asas-asas Hukum Acara Perdata ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. H. Muhammad Zainuri, M.H. selaku Dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata STDI Imam Syafi’i yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai asas hukum acara perdata di Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya tugas yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Jember, November 2017





Penyusun



Ghifary Duyufur Rohman



ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA


·        Pengertian
Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif). Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah ratio legisnya peraturan.
Adapun Hukum Acara Perdata adalah Peraturan Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.[1](Mertokusumo)


1.     Hakim Bersifat Pasif
Yang dimaksud dengan asas hakim bersifat pasif adalah adanya tuntuta hak dari penggugat kepada tergugat timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat. akim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.

Asas hakim bersifat pasif disini dalam pengertian yang luas bahwa dalam suatu perkara diajukan ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya inisiatif sepenuhnya tergantung kepada para pihak yang sedang berperkara bukan kepada hakim yang memeriksa karena sebelum perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan jika suatu perkara yang dihadapi para pihak telah diajukan ke persidangan pengadilan, maka hakim harus bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa pandang bulu.

Hakim didalam mengangani setiap perkara yang diajukan ke pengadilan tidak diperbolehkan atau dilarang memberikan putusan yang tidak dituntut oleh para pihak yang sedang berperkara karena akan berakibat keputusannya cacat hukum dan batal demi hukum (Pasal 178 HIR jo. Pasal 189 RBg). Jadi maksud asas hakim bersifat pasif disini batasannya hanya pada perkara yang belum diajukan ke pengadilan batasan tersebut telah hilang dan berubah menjadi bersifat aktif untuk mengadili perkara sesuai tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya menurut asas ini tidak dperbolehkan menangani suatu perkara perdata yang tidak diajukan oleh para pihak yang berperkara khususnya pihak penggugat yang telah mengalami suatu kerugian atas terjadinya pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak tergugat. Dalam tuntutan perdata umumnya sebelum perkara dibawa ke pengadilan telah terjadi pelanggaran hak yang merugikan pihak penggugat, yang mana permasalahannya tidak dapat diselesaikan oleh para pihak dengan jalan perdamaian di luar persidangan, sehingga permasalahan atau sengketanya dibawa ke pengadilan untuk mendapat keadilan yang seadil-adilnya. Maksud dari kalimat yang menyatakan bahwa “timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat” adalah suatu perkara diajukan atau tidak diajukan timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat yang merasa bahwa haknya telah dilanggar dan mengalami kerugian. Apabila pihak yang dirugikan menghendaki perkaranya harus diselesaikan di pengadilan timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat karena penggugat menganggap bahwa hakim lebih tahu tentang hukumnya (ius curria novit) dari sengketa yang dihadapi penggugat.

Jadi hakim dalam praktiknya sifatnya hanya menunggu adanya perkara yang diajukan kepadanya (iudex ne vrecedat ex officio) untuk diselesaikan dengan cara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak berpihak pada salah satu pihak yang sedang berperkara (Pasal 118 HIR jo. Pasal 142 RBg. jo. Pasal 1 Rv. jo. Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Pengadilan dilarang menolak gugatan yang diajukan oleh penggugat dan atau para pencari keadilan yang sedang membutuhkannya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan alasan atau dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas melainkan harus dan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Dalam paktik apabila hakim menangani sengketa yang hukumnya tidak ada, hakim sebagai seorang yuris harus dapat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), sehingga keputusannya dapat dijadikan yurisprudensi oleh hakim-hakim yang lain untuk dijadikan sebagai dasar dalam penanganan sengketa yang sama sebelum peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sengketa yang tidak ada hukumnya di buat oleh penguasa.

Jadi, jelaslah sudah bahwa undang-undang pengharapkan dalam hal suatu sengketa yang diajukan ke persidangan pengadilan negeri oleh para pihak yang berperkara dan hukumnya tidak ada, seorang hakim diharuskan atau diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk mengadili sengketa tersebut degan seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Dari bunyi Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat disimpulkan bahwa seorang hakim haruslah dijabat oleh orang-orang yang betul-betul ahli di bidang hukum, sehingga dalam mengangani suatu sengketa yang dihadapi oleh para pihak, baik itu hukumnya ada maupun tidak ada tidaklah menjadi soal baginya karena hakim dianggap seorang yuris yang tahu akan hukum.


2.     Asas Sifat Terbukanya Persidangan
Yang dimaksud dengan asas sifat terbukanya persidangan adalah hakim di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh penggugat, persidangannya terbuka untuk umum.
Asas terbukanya persidangan dalam hal menangani suatu perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan haruslah terbuka untuk umum karena jika ternyata hakim dalam menangani suatu perkara tidak terbuka untuk umum, keputusan yang dibuat oleh hakim tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Asas terbukanya persidangan ini pada dasarnya Negara Indonesia sebagai negara hukum menghendaki adanya penegakan rule of law yang betul-betul dapat dilaksanakan secara objektif dan hakim dalam menangani suatu perkara dilarang berpihak kepada salah satu pihak.
Apabila hakim dalam menangani suatu perkara dapat menempatakan dirinya sebagai hakim yang baik atau tidak berpihak kepada salah satu pihak, maka hakim akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya terhadap para pencari keadilan dan dapat dijadikan tumpuan akhir untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara yang seadil-adilnya.
Asas terbukanya persidangan dimaksudkan agar publik dapat menyaksikan langsung jalannya persidangan sekaligus menjadi pengawas hakim dalam menangani suatu perkara objektif apa berpihak kepada salah satu pihak atau tidak. Dalam praktik persidangan yang terbuka untuk umum, persidangannya dilaksanakan dalam ruangan yang pintunya terbuka dan setiap orang tanpa terkecuali dapat menyaksikan jalannya persidangan, sedangkan sidang yang tertutup untuk umum pelaksanaan persidangannya dalam ruangan yang pintunya ditutup, sehingga tidak semua orang bisa masuk terkecuali para pihak yang berperkara dan para saksi.
Sidang yang terbuka untuk umum terdapat pengecualiannya, yaitu khusus untuk perkara-perkara perceraian persidangannya tertutup untuk umum. Persidangan khusus perceraian ini pelaksanaannya tertutup untuk umum dan tidak boleh diketahui oleh orang lain karena menyangkut rahasia keluarga. Hakim dalam menangani perkara-perkara yang sifatnya tertutup untuk umum tidak diperbolehkan atau dilarang untuk melaksanakan persidangan dengan terbuka untuk umum, karena keputusannya akan berakibat tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 29 RO).[2]
3.     Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
Yang dimaksud dengan asas mendengar kedua belah pihak (audiatur et altera pars atau eines mannes rede ist keines mannes rede) adalah hakim dalam menangani suatu perkara terhadap pihak yang sedang berperkara harus mendengarkan keterangan tentang terjadinya peristiwa hukum dari kedua belah pihak.
Menurut hukum acara perdata, para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan.
Hakim juga tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar, tanpa mendengar atau memberi kesempatan pihak lain untuk menyampaikan pendapatnya. Demikian pula pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka siding yang dihadiri kadua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/ 145, 157 Rbg).
Disamping itu, dalam memberikan keputusan hakim tidak boleh hanya berdasarkan keterangan salah satu pihak, terkecuali jika ternyata pihak tergugat setelah dipanggil dengan patut 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir (purge) dan tidak memerintahkan wakilnya atau kuasa hukumnya serta tidak mempergunakan haknya untuk didengar keterangannya hakim dapat memberikan putusan verstek. Akan tetapi, setelah hakim memberikan putusan verstek dan ada perlawanan (verzet) dari pihak tergugat, maka hakim juga diharuskan mendengarkan keterangan pihak tergugat dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu.
4.     Asas Bebas dari Campur Tangan Para Pihak di Luar Pengadilan

Asas bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan menghendaki bahwa hakim di dalam melaksanakan tugasnya mengadili para pencari keadilan yang sedang bersengketa dan perkaranya diajukan ke pengadilan. Hakim wajib menjaga kemandiriannya, yang mana dalam hal memberikan keputusan tentang siapa yang menang dan kalah atau siapa yang benar dan salah dalam suatu perkara tidak diperbolehkan terpengaruh oleh pihak lain yang berada di luar pengadilan, sehingga di dalam putusannya dapat mencerminkan keadilan yang dapat diterima oleh para pihak yang sedang bersengketa dan penegakkan rule of law betul-betul dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan dapat menjadi tumpuan akhir bagi para pihak yang sedang berperkara dan atau para pencari keadilan. (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Dalam praktik hakim dalam memberikan keputusan harus berdasarkan bukti-bukti yang ada dari para pihak yang sedang berperkara dan keyakinannya siapa yang salah dan siapa yang benar dalam suatu perkara, walaupun ada pihak lain (pejabat tinggi negara/pengusas) di luar pengadilan yang mempengaruhinya tidak diperbolehkan terpengaruh. Apabila hakim dalam menangani perkara tidak terpengaruh oleh pihak lain di luar pengadilan, maka keputusannya sudah barang tentu akan dapat mencerminkan keadilan yang seadil-adilnya yang dapat diterima oleh para pihak yang sedang berperkara dan tidak akan menimbulkan proses litigasi yang berkepanjangan, yaitu adanya upaya hukum lain atau perlawanan terhadap keputusan hakim oleh pihak yang dikalahkan dalam persidangan berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali yang disebabkan oleh keputusan yang tidak mencerminkan keadilan, sehingga dapat berguna untuk mengurangi perkara yang menumpuk di tingkat banding maupun kasasi.
Dalam peradilan asas ini harus betul-betul diterapkan oleh para hakim karena apabila hakim yang menangani suatu perkara tidak bisa menerapkan “asas bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan” dan tidak bisa menempatkan dirinya di tengah-tengah para pihak yang sedang berperkara (berpihak kepada salah satu pihak), maka sudah dapat dipastikan bahwa keputusannya akan dilawan oleh pihak yang dikalahkan dan proses litgasi akan menjadi berkepanjangan, sehingga mengakibatkan banyak perkara yang menumpuk di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
5.     Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU No.4 tahun 2004, Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya, terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Hakim juga harus bisa menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah pengadilan mengusahakan biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan
Jadi, agar dalam suatu persidangan dapat dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka hakim yang menyelesaikan sengketa harus profesional dan betul-betul orang yang ahli di bidangnya serta penuh dengan kearifan di dalam menangani suatu perkara, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang sedang berperkara dapat terselesaikan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
6.     Asas Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Yang dimaksud dengan asas putusan harus disertai alasan-alasan adalah keputusan hakim dalam suatu perkara harus menggunakan dalil-dalil dan atau dasar hukum positif yang ada. ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,)
Dalil-dali dan atau dasar hukum positif yang ada dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim dalam persidangan di pengadilan, sehingga pihak lawan tidak akan mudah atau akan kesulitan untuk mencari celah-celah atau kelemahan dari pada keputusan yang telah dikeluarkan. Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau dasar hukum positif harus betul-betul jeli dan cermat serta harus sesuai dengan sengketa yang dihadapi oleh para pihak, karena jika dalam suatu keputusan penerapan tentang dasar hukumnya salah dan atau tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak, maka keputusan pengadilan yang telah dikeluarkan akan berakibat cacat hukum dan dapat dibatalkan, diubah, dan diperbaiki di tingkat banding.

7.     Asas Putusan Harus Dilaksanakan Setelah 14 Hari Lewat
Yang dimaksud dengan asas putusan harus dilaksanakan setelah 14 hari lewat adalah setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu 14 hari telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam beberapa kasus, seperti putusan “Provisionil dan putusan uit voerbaar bij voorraad”.
Keputusan pengadilan pada asasnya dapat dilaksanakan setelah 14 hari telah lewat dan keputusannya telah in kracht van gewijsde atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan dalam persidangan pengadillan yang berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali. Jadi, dalam asas ini menghendaki keputusan pengadilan terhadap para pihak yang sedang bersengketa di pengadilan pelaksanaan eksekusinya terhadap barang-barang baik bergerak maupun tidak bergerak baru dapat dilaksanakan dengan cara paksa jika keputusannya telah in kracht van gewijsde atau telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak ada perlawanan dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam putusan provisionil dan putusan uit voebaar bij voorraad.
Dalam putusan provisionil walaupun belum diberikan putusan akhir dalam persidangan eksekusi terhadap objek sengketa terhadap barang-barang bergerak milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan pihak ketiga dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Jika ada dugaan bahwa tergugat akan menggelapkan barang-barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau di tangan pihak ketiga tanpa persetujuan penggugat. Sedangkan dalam putusan uit voebaar bij voorraad atau putusan serta merta pelaksanaan eksekusi terhadap barang-barang jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum lain atau banding oleh pihak lawan yang dikalahkan dalam persidangan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dengan catatan bahwa dalam petitum gugatan penggugat harus disebutkan bahwa putusan pengadilan dapat dilaksanakan dengan serta merta dan ada jaminan yang jumlah nominalnya sama dengan nilai objek yang disita.

8.     Asas Beracara Dikenakan Biaya
Biaya perkara umumnya dapat berupa biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut sangat diperlukan oleh pengadilan karena untuk memperlancar jalannya persidangan, khususnya untuk pemanggilan dan pemberitahuan para pihak yang sedang berperkara di pengadilan.
Biaya-biaya tersebut umumnya dibebankan kepada pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan, jika dalam perkara tersbut ternyata ada barang-barang jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak yang harus disita oleh panitera pengadilan negeri, maka selain biaya-biaya tersebut diatas, masih ada biaya tambahan, yaitu biaya-biaya pengacara, para saksi, saksi ahli, dan juru bahasa (Pasak 121 ayat (4), (182), (183) HIR jo. Pasal 145 ayat (4), (192), (193), (194) RBg. jo. Pasal 2 ayat (2), Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Biaya-biaya yang harus diabayar oleh pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan tersebut diatas, terdapat pengecualian untuk para pihak yang tidak mampu yang telah mengajukan permohonan ke pengadilan dengan beracara di pengadilan tanpa biaya (prodeo). Khusu untuk para pihak yang tidak mampu yang telah mengajukan permohonan dan tidak dilawan oleh pihak lawan serta dikabulkan oleh hakim, maka pihak yang mengajukan beracara tanpa biaya tersebut jika di dalam persidangan dikalahkan tidak dikenakan biaya (Pasal 237, 238, 239 HIR jo. Pasal 273, 274, 275 RBg).
Bagi orang yang tidak mampu,dapat mengajukan perkaranya secara cuma-Cuma (prodeo), dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat, sehinnga biaya perkara akan ditanggung oleh Negara.

9.     Tidak Ada Keharusan untuk Mewakilkan
Dalam asas hukum acara perdata, baik dalam HIR maupun dalam Rbg tidak ada keharusan kepada para pihak untuk mewakilkan pengurusan perkaranya kapada kuasa yang ahli hukum, sehingga pemeriksaan dipersidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi para pihak juga dapat mewakilkan atau menguasakan kepada orang lain untuk beracara dimuka pengadilan sebagai kuasa hukumnya (Pasal 123 HIR/147 Rbg).

10.  Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. (pasal 4 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004)
Dan setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.














Sumber :
Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
https://makaramah.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-dan-asas-asas-hukum-acara.html



PENUTUP


Demikianlah tugas makalah yang kami buat mengenai Asas-asas hukum perdata, semoga bermanfaat bagi orang yang menyusunnya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah ini. Dan saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, susah dimengerti, dan kasar mohon jangan dimasukan ke dalam hati.
Dan kami juga sangat mengharapkan koreksi dan saran dari bapak pembimbing, mengenai tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata kali ini.
Sekiandari kami, semoga berkenan di hati dankurang lebihnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

                                                                        


[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty Yogyakarta Edisi Kedelapan, 2006, H. 2.
[2] Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar