PEMBUKAAN
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah subhanahu wata’ala karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Asas-asas Hukum Acara
Perdata ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
kami berterima kasih pada Bapak Drs. H. Muhammad Zainuri, M.H. selaku Dosen
mata kuliah Hukum Acara Perdata STDI Imam Syafi’i yang telah memberikan tugas
ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai asas hukum acara perdata di Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya tugas yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Jember, November
2017
Penyusun
Ghifary Duyufur Rohman
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
·
Pengertian
Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah
pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan
hukum yang konkret (hukum positif). Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar
lahirnya peraturan hukum, ialah ratio legisnya peraturan.
Adapun Hukum Acara Perdata adalah
Peraturan Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan
bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.[1](Mertokusumo)
1.
Hakim
Bersifat Pasif
Yang dimaksud dengan asas hakim
bersifat pasif adalah adanya tuntuta hak dari penggugat kepada tergugat
timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat. akim di dalam
memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada
asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Asas hakim bersifat pasif disini
dalam pengertian yang luas bahwa dalam suatu perkara diajukan ke pengadilan
atau tidak untuk penyelesaiannya inisiatif sepenuhnya tergantung kepada para
pihak yang sedang berperkara bukan kepada hakim yang memeriksa karena sebelum
perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan jika suatu
perkara yang dihadapi para pihak telah diajukan ke persidangan pengadilan, maka
hakim harus bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya
tanpa pandang bulu.
Hakim didalam mengangani setiap
perkara yang diajukan ke pengadilan tidak diperbolehkan atau dilarang
memberikan putusan yang tidak dituntut oleh para pihak yang sedang berperkara
karena akan berakibat keputusannya cacat hukum dan batal demi hukum (Pasal 178
HIR jo. Pasal 189 RBg). Jadi maksud asas hakim bersifat pasif disini batasannya
hanya pada perkara yang belum diajukan ke pengadilan batasan tersebut telah
hilang dan berubah menjadi bersifat aktif untuk mengadili perkara sesuai
tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya
menurut asas ini tidak dperbolehkan menangani suatu perkara perdata yang tidak
diajukan oleh para pihak yang berperkara khususnya pihak penggugat yang telah
mengalami suatu kerugian atas terjadinya pelanggaran hak yang dilakukan oleh
pihak tergugat. Dalam tuntutan perdata umumnya sebelum perkara dibawa ke
pengadilan telah terjadi pelanggaran hak yang merugikan pihak penggugat, yang
mana permasalahannya tidak dapat diselesaikan oleh para pihak dengan jalan
perdamaian di luar persidangan, sehingga permasalahan atau sengketanya dibawa
ke pengadilan untuk mendapat keadilan yang seadil-adilnya. Maksud dari kalimat
yang menyatakan bahwa “timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat”
adalah suatu perkara diajukan atau tidak diajukan timbulnya inisiatif
sepenuhnya ada pada pihak penggugat yang merasa bahwa haknya telah dilanggar
dan mengalami kerugian. Apabila pihak yang dirugikan menghendaki perkaranya
harus diselesaikan di pengadilan timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak
penggugat karena penggugat menganggap bahwa hakim lebih tahu tentang hukumnya
(ius curria novit) dari sengketa yang dihadapi penggugat.
Jadi hakim dalam praktiknya sifatnya
hanya menunggu adanya
perkara yang diajukan kepadanya (iudex ne vrecedat ex officio) untuk
diselesaikan dengan cara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
ada dan tidak berpihak pada salah satu pihak yang sedang berperkara (Pasal 118
HIR jo. Pasal 142 RBg. jo. Pasal 1 Rv. jo. Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pengadilan dilarang menolak gugatan
yang diajukan oleh penggugat dan atau para pencari keadilan yang sedang
membutuhkannya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan alasan atau
dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas melainkan harus dan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman). Dalam paktik apabila hakim menangani sengketa
yang hukumnya tidak ada, hakim sebagai seorang yuris harus dapat menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman), sehingga keputusannya dapat dijadikan yurisprudensi oleh
hakim-hakim yang lain untuk dijadikan sebagai dasar dalam penanganan sengketa
yang sama sebelum peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sengketa
yang tidak ada hukumnya di buat oleh penguasa.
Jadi, jelaslah sudah bahwa undang-undang
pengharapkan dalam hal suatu sengketa yang diajukan ke persidangan pengadilan
negeri oleh para pihak yang berperkara dan hukumnya tidak ada, seorang hakim
diharuskan atau diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat untuk mengadili sengketa tersebut degan
seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Dari bunyi Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat disimpulkan bahwa seorang hakim haruslah
dijabat oleh orang-orang yang betul-betul ahli di bidang hukum, sehingga dalam
mengangani suatu sengketa yang dihadapi oleh para pihak, baik itu hukumnya ada
maupun tidak ada tidaklah menjadi soal baginya karena hakim dianggap seorang
yuris yang tahu akan hukum.
2.
Asas Sifat Terbukanya
Persidangan
Yang dimaksud dengan asas sifat
terbukanya persidangan adalah hakim di dalam mengadili suatu perkara yang
diajukan oleh penggugat, persidangannya terbuka untuk umum.
Asas
terbukanya persidangan dalam hal menangani suatu perkara-perkara yang diajukan
ke pengadilan haruslah terbuka untuk umum karena jika ternyata hakim dalam
menangani suatu perkara tidak terbuka untuk umum, keputusan yang dibuat oleh
hakim tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Asas terbukanya persidangan ini
pada dasarnya Negara Indonesia sebagai negara hukum menghendaki adanya
penegakan rule of
law yang
betul-betul dapat dilaksanakan secara objektif dan hakim dalam menangani suatu
perkara dilarang berpihak kepada salah satu pihak.
Apabila hakim dalam menangani suatu
perkara dapat menempatakan dirinya sebagai hakim yang baik atau tidak berpihak
kepada salah satu pihak, maka hakim akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
khususnya terhadap para pencari keadilan dan dapat dijadikan tumpuan akhir
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara
yang seadil-adilnya.
Asas terbukanya persidangan dimaksudkan
agar publik dapat menyaksikan langsung jalannya persidangan sekaligus menjadi
pengawas hakim dalam menangani suatu perkara objektif apa berpihak kepada salah
satu pihak atau tidak. Dalam praktik persidangan yang terbuka untuk umum,
persidangannya dilaksanakan dalam ruangan yang pintunya terbuka dan setiap
orang tanpa terkecuali dapat menyaksikan jalannya persidangan, sedangkan sidang
yang tertutup untuk umum pelaksanaan persidangannya dalam ruangan yang pintunya
ditutup, sehingga tidak semua orang bisa masuk terkecuali para pihak yang
berperkara dan para saksi.
Sidang yang terbuka untuk umum terdapat
pengecualiannya, yaitu khusus untuk perkara-perkara perceraian persidangannya
tertutup untuk umum. Persidangan khusus perceraian ini pelaksanaannya tertutup
untuk umum dan tidak boleh diketahui oleh orang lain karena menyangkut rahasia
keluarga. Hakim dalam menangani perkara-perkara yang sifatnya tertutup untuk
umum tidak diperbolehkan atau dilarang untuk melaksanakan persidangan dengan
terbuka untuk umum, karena keputusannya akan berakibat tidak sah dan atau cacat
hukum serta dapat batal demi hukum (Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 29 RO).[2]
3. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
Yang dimaksud dengan asas mendengar kedua belah pihak (audiatur
et altera pars atau eines mannes rede ist keines mannes rede) adalah
hakim dalam menangani suatu perkara terhadap pihak yang sedang berperkara harus
mendengarkan keterangan tentang terjadinya peristiwa hukum dari kedua belah
pihak.
Menurut hukum acara perdata, para pihak yang berperkara harus
diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk membela dan melindungi
kepentingan yang bersangkutan.
Hakim juga tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai
sesuatu yang benar, tanpa mendengar atau memberi kesempatan pihak lain untuk
menyampaikan pendapatnya. Demikian pula pengajuan alat bukti harus dilakukan
dimuka siding yang dihadiri kadua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/ 145, 157
Rbg).
Disamping itu, dalam memberikan keputusan hakim tidak boleh hanya
berdasarkan keterangan salah satu pihak, terkecuali jika ternyata pihak
tergugat setelah dipanggil dengan patut 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir
(purge)
dan tidak memerintahkan wakilnya atau kuasa hukumnya serta tidak mempergunakan
haknya untuk didengar keterangannya hakim dapat memberikan putusan verstek. Akan
tetapi, setelah hakim memberikan putusan verstek dan ada
perlawanan (verzet) dari pihak tergugat,
maka hakim juga diharuskan mendengarkan keterangan pihak tergugat dan
memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu.
4.
Asas Bebas dari Campur Tangan Para Pihak
di Luar Pengadilan
Asas bebas
dari campur tangan para pihak di luar pengadilan menghendaki bahwa hakim di
dalam melaksanakan tugasnya mengadili para pencari keadilan yang sedang
bersengketa dan perkaranya diajukan ke pengadilan. Hakim wajib menjaga
kemandiriannya, yang mana dalam hal memberikan keputusan tentang siapa yang
menang dan kalah atau siapa yang benar dan salah dalam suatu perkara tidak
diperbolehkan terpengaruh oleh pihak lain yang berada di luar pengadilan,
sehingga di dalam putusannya dapat mencerminkan keadilan yang dapat diterima
oleh para pihak yang sedang bersengketa dan penegakkan rule of law betul-betul dapat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan dapat menjadi tumpuan akhir
bagi para pihak yang sedang berperkara dan atau para pencari keadilan. (Pasal 1
angka 1, Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Dalam praktik hakim dalam memberikan
keputusan harus berdasarkan bukti-bukti yang ada dari para pihak yang sedang
berperkara dan keyakinannya siapa yang salah dan siapa yang benar dalam suatu
perkara, walaupun ada pihak lain (pejabat tinggi negara/pengusas) di luar
pengadilan yang mempengaruhinya tidak diperbolehkan terpengaruh. Apabila hakim
dalam menangani perkara tidak terpengaruh oleh pihak lain di luar pengadilan,
maka keputusannya sudah barang tentu akan dapat mencerminkan keadilan yang
seadil-adilnya yang dapat diterima oleh para pihak yang sedang berperkara dan
tidak akan menimbulkan proses litigasi yang berkepanjangan, yaitu adanya upaya
hukum lain atau perlawanan terhadap keputusan hakim oleh pihak yang dikalahkan
dalam persidangan berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali yang disebabkan
oleh keputusan yang tidak mencerminkan keadilan, sehingga dapat berguna untuk
mengurangi perkara yang menumpuk di tingkat banding maupun kasasi.
Dalam peradilan asas ini harus
betul-betul diterapkan oleh para hakim karena apabila hakim yang menangani
suatu perkara tidak bisa menerapkan “asas bebas dari campur tangan para pihak
di luar pengadilan” dan tidak bisa menempatkan dirinya di tengah-tengah para
pihak yang sedang berperkara (berpihak kepada salah satu pihak), maka sudah
dapat dipastikan bahwa keputusannya akan dilawan oleh pihak yang dikalahkan dan
proses litgasi akan menjadi berkepanjangan, sehingga mengakibatkan banyak
perkara yang menumpuk di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
5. Asas Sederhana, Cepat,
dan Biaya Ringan
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU No.4 tahun 2004, Sederhana maksudnya
acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan
sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya, terlalu
banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan
beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Hakim juga harus bisa menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses
penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli
warisnya.
Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah pengadilan mengusahakan biaya
yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara
yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan
Jadi, agar dalam suatu persidangan dapat dilaksanakan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan, maka hakim yang menyelesaikan sengketa harus
profesional dan betul-betul orang yang ahli di bidangnya serta penuh dengan
kearifan di dalam menangani suatu perkara, sehingga permasalahan yang dihadapi
oleh para pihak yang sedang berperkara dapat terselesaikan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
6. Asas Putusan Harus
Disertai Alasan-Alasan
Yang dimaksud dengan asas putusan harus disertai alasan-alasan adalah
keputusan hakim dalam suatu perkara harus menggunakan dalil-dalil dan atau
dasar hukum positif yang ada. ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,)
Dalil-dali dan atau dasar hukum positif yang ada dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan
dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim dalam persidangan di
pengadilan, sehingga pihak lawan tidak akan mudah atau akan kesulitan untuk
mencari celah-celah atau kelemahan dari pada keputusan yang telah dikeluarkan.
Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau dasar hukum positif harus betul-betul
jeli dan cermat serta harus sesuai dengan sengketa yang dihadapi oleh para
pihak, karena jika dalam suatu keputusan penerapan tentang dasar hukumnya salah
dan atau tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak, maka
keputusan pengadilan yang telah dikeluarkan akan berakibat cacat hukum dan
dapat dibatalkan, diubah, dan diperbaiki di tingkat banding.
7. Asas Putusan Harus
Dilaksanakan Setelah 14 Hari Lewat
Yang dimaksud dengan asas putusan harus dilaksanakan setelah 14 hari
lewat adalah setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan setelah
tenggang waktu 14 hari telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam
beberapa kasus, seperti putusan “Provisionil dan putusan uit voerbaar bij
voorraad”.
Keputusan pengadilan pada asasnya dapat dilaksanakan setelah 14 hari
telah lewat dan keputusannya telah in kracht van gewijsde atau tidak ada
upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan dalam persidangan pengadillan yang
berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali. Jadi, dalam asas ini menghendaki
keputusan pengadilan terhadap para pihak yang sedang bersengketa di pengadilan
pelaksanaan eksekusinya terhadap barang-barang baik bergerak maupun tidak
bergerak baru dapat dilaksanakan dengan cara paksa jika keputusannya telah in
kracht van gewijsde atau telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak
ada perlawanan dari pihak yang dikalahkan, kecuali dalam putusan provisionil
dan putusan uit voebaar bij voorraad.
Dalam putusan provisionil walaupun belum diberikan putusan akhir dalam
persidangan eksekusi terhadap objek sengketa terhadap barang-barang bergerak
milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau berada di tangan pihak
ketiga dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Jika ada dugaan bahwa tergugat akan
menggelapkan barang-barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat atau
di tangan pihak ketiga tanpa persetujuan penggugat. Sedangkan dalam putusan uit
voebaar bij voorraad atau putusan serta merta pelaksanaan eksekusi terhadap
barang-barang jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak dapat dilaksanakan
terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum lain atau banding oleh pihak lawan
yang dikalahkan dalam persidangan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dengan
catatan bahwa dalam petitum gugatan penggugat harus disebutkan bahwa putusan
pengadilan dapat dilaksanakan dengan serta merta dan ada jaminan yang jumlah
nominalnya sama dengan nilai objek yang disita.
8. Asas Beracara Dikenakan
Biaya
Biaya perkara umumnya dapat berupa biaya untuk pemanggilan,
pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut sangat diperlukan oleh
pengadilan karena untuk memperlancar jalannya persidangan, khususnya untuk
pemanggilan dan pemberitahuan para pihak yang sedang berperkara di pengadilan.
Biaya-biaya tersebut umumnya dibebankan kepada pihak yang dikalahkan
dalam suatu persidangan, jika dalam perkara tersbut ternyata ada barang-barang
jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak yang harus disita oleh panitera
pengadilan negeri, maka selain biaya-biaya tersebut diatas, masih ada biaya
tambahan, yaitu biaya-biaya pengacara, para saksi, saksi ahli, dan juru bahasa
(Pasak 121 ayat (4), (182), (183) HIR jo. Pasal 145 ayat (4), (192), (193),
(194) RBg. jo. Pasal 2 ayat (2), Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman).
Biaya-biaya yang harus diabayar oleh pihak yang dikalahkan dalam suatu
persidangan tersebut diatas, terdapat pengecualian untuk para pihak yang tidak
mampu yang telah mengajukan permohonan ke pengadilan dengan beracara di
pengadilan tanpa biaya (prodeo). Khusu untuk para pihak yang tidak mampu yang
telah mengajukan permohonan dan tidak dilawan oleh pihak lawan serta dikabulkan
oleh hakim, maka pihak yang mengajukan beracara tanpa biaya tersebut jika di
dalam persidangan dikalahkan tidak dikenakan biaya (Pasal 237, 238, 239 HIR jo.
Pasal 273, 274, 275 RBg).
Bagi orang yang tidak mampu,dapat mengajukan perkaranya secara cuma-Cuma
(prodeo), dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat Kepala
Polisi atau Camat setempat, sehinnga biaya perkara akan ditanggung oleh Negara.
9. Tidak Ada Keharusan
untuk Mewakilkan
Dalam asas hukum acara perdata, baik dalam HIR maupun dalam Rbg tidak
ada keharusan kepada para pihak untuk mewakilkan pengurusan perkaranya kapada
kuasa yang ahli hukum, sehingga pemeriksaan dipersidangan dilakukan secara
langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi para pihak juga dapat
mewakilkan atau menguasakan kepada orang lain untuk beracara dimuka pengadilan
sebagai kuasa hukumnya (Pasal 123 HIR/147 Rbg).
10. Peradilan Dilakukan
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia
tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat,
tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. (pasal 4 ayat (1) UU No. 4
tahun 2004)
Dan setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila
pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.
Sumber :
Sarwono. 2016. Hukum
Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
https://makaramah.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-dan-asas-asas-hukum-acara.html
PENUTUP
Demikianlah tugas
makalah yang kami buat mengenai Asas-asas hukum perdata, semoga bermanfaat bagi
orang yang menyusunnya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah
ini. Dan saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat
yang tidak jelas, susah dimengerti, dan kasar mohon jangan dimasukan ke dalam
hati.
Dan kami juga sangat
mengharapkan koreksi dan saran dari bapak pembimbing, mengenai tugas mata
kuliah Hukum Acara Perdata kali ini.
Sekiandari kami, semoga berkenan di hati dankurang
lebihnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar